16 Desember 2013

Pasar kain Cigondewah

Pasar kain asal Cigondewah ternyata sudah terkenal ke mancanegara. Beberapa pemesannya bahkan datang dari jazirah Arab seperti Yaman dan Afganistan. Mereka rutin membeli kain jenis jetblack yang biasanya digunakan untuk busana syari. Sementara wisatawan asing lainnya senang berbelanja kesana karena mencari kain-kain langka yang sudah tidak diproduksi oleh pabrik.

Lahirnya pasar kain Cigondewah berawal dari usaha pengolahan limbah tekstil yang dilakoni warga pada tahun 1990-an. Mulanya mereka hanya memasok kain dikawasan industri Soreang Kab. Bandung, untuk kebutuhan industri rumah tangga yang kemudian dijajakan di pasar tanah abang, Jakarta. Seiring berjalannya waktu kawasan ini tidak saja menjadi tempat buruan pengusaha tekstil, namun juga tempat berbelanja bagi wisatawan domestik. Pasar kain Cigondewah disebut-sebut sebagai pusat perbelanjaan yang memiliki koleksi jenis kain terlengkap mulai dari kain untuk pakaian sampai kain untuk kelambu.

Perkembangan kawasan ini terbilang cukup baik jika dilihat dari jumlah toko yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Padahal pada awal 1990-an hanya ada lima kios yang beroperasi namun kini seratus lebih kios yang ada di pasar pasar kain Cigondewah. Banyak pedagang asal Pasar Baru yang menilai Cigondewah menjadi pusat perbelanjaan baru sehingga mereka memindahkan lapaknya ke sini.

Dalam penyediaan kain para pedagang biasanya memanfaatkan potensi manufaktur yang berada di seputaran wilayah Bandung, baik yang lokal maupun asing. Pabrik-pabrik asal kota Cimahi, soreang dan Banjaran serta Mohammad Toha menjadi pemasok utama, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mencari kain dari luar Bandung bahkan mengimpor dari China walaupun presentasinya hanya 20% saja.

Kota Bandung memang kaya akan potensi ekonomi dan budaya, pasar kain Cigondewah merupakan salah satu penggerak ekonomi rakyat yang berhasil memanfaatkan peluang dari usaha pengolahan limbah tekstil.


Sumber : Pikiran Rakyat

9 April 2013

Mengenal pembuat logo OSIS dan seragam sekolah Indonesia


Bagi kita yang pernah sekolah dan kini sudah lulus pasti disetiap saku baju seragam ada sebuah logo bertuliskan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) tertempel, mungkin sebagian dari anda juga ada yang pernah menjabat menjadi ketua atau anggota. Dulu jabatan ketua OSIS adalah  jabatan yang sangat didambakan oleh seluruh siswa, lalu apakah anda tahu siapa pembuatnya ?

Mari kita sedikit mundur kebelakang, untuk bisa mengenang pembuat logo tersebut. Beliau adalah H. Idik Sulaeman Nataatmadja, AT (lahir di Kuningan, Jawa Barat, Indonesia, 20 Juli 1933), menghabiskan masa kecil di daerah kelahirannya, sampai tamat SMP di Purwakarta dan pindah ke Jakarta saat masuk SMA. Sejak kecil, jiwa seni sudah terlihat dalam dirinya. Tak heran bila setamat SMA Idik memilih seni rupa sebagai pilihan profesinya dengan menamatkan pendidikan sebagai sarjana seni rupa di Departemen Ilmu Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 9 April 1960.

Idik Sulaeman memulai kariernya di Balai Penelitian Tekstil (1960-1964). Pada 1 Februari 1965 ia diangkat menjadi Kepala Biro Menteri Perindustrian dan Kerajinan yang saat itu dijabat Mayjen TNI dr. Azis Saleh.

Dunia seni dan tekstil harus ditinggalkannya karena pindah kerja ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), sebagai Kepala Dinas Pengembangan dan Latihan pada 1 Desember 1967. Saat inilah, ia banyak membantu Husein Mutahar dalam mewujudkan gagasannya membentuk Paskibraka.

Bersama dengan para pembina lainnya, Idik membantu Mutahar menyempurnakan konsep pembinaan Paskibraka. Pasukan yang pada tahun 1966 dan 1967 diberi nama Pasukan Pengerek Bendera Pusaka, pada tahun 1973 mendapat nama baru yang dilontarkan oleh Idik. Nama itu adalah PASKIBRAKA, yang merupakan akronim dengan kepanjangan PASuKan PengIBar BendeRA PusaKA.

Selain memberi nama, Idik juga menyempurnakan wujud Paskibraka dengan menciptakan Seragam Paskibraka, Lambang Korps, Lambang Anggota, serta Tanda Pengukuhan berupa Lencana Merah-Putih Garuda (MPG) dan Kendit Kecakapan.

Pada 30 Juni 1975, ia diangkat menjadi Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Pembinaan Kegiatan di Direktorat Pembinaan Generasi Muda (Ditbinmud). Pada 9 Maret 1977, ia mencapai posisi puncak di Ditbinmud setelah ditunjuk sebagai Pelaksana Harian Direktur Pembinaan Generasi Muda, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga (Ditjen PLSOR). Tiga tahun penuh ia benar-benar menjadi ”komandan” dalam latihan Paskibraka, yakni Paskibraka 1977, 1978 dan 1979.

Pada 24 November 1979, Idik ditarik ke Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Dikdasmen) dan menjabat Direktur Pembinaan Kesiswaan sampai 15 November 1983. Selama empat tahun itu, dengan latar belakang pendidikan seni rupa dan pengalaman kerja di bidang tekstil, Idik mencatat sejarah dalam penciptaan seragam sekolah yang kita kenal sampai sekarang: SD putih-merah, SMP putih-biru dan SMA putih-abu-abu, lengkap dengan lambang sekolah dasar (SD) dan OSIS yang kini selalu melekat di saku kiri seragam sekolah.

Namun kini beliau telah wafat pada hari 3 hari yang lalu tepatnya tanggal 4 April 2013 pada pukul 08.45 WIB di RS Siloam karena stroke. Meninggalkan sang istri Aisah Martalogawa dan tiga orang anak, yakni Ir. Ars Isandra Matin Ahmad (yang beristrikan Ir.ars Retno Audite), Isantia Dita Asiah (yang bersuamikan Drs. Mohammad Imam Hidayat), dan Dra Isanilda Dea Latifah yang bersuamikan Ari Reza Iskandar). Dari ketiganya, Idik memiliki enam orang cucu, masing-masing 3 cucu laki-laki dan 3 cucu perempuan.


Riwayat Hidup H. Idik Sulaeman Nataatmadja, AT

Lahir :Kuningan, Jawa Barat, 20 Juli 1933

Pendidikan :
  •     Sekolah Rakyat di Tasikmalaya
  •     SMP Tasikmalaya dan Purwakarta
  •     SMA Boedi Oetomo Jakarta
  •     Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, 1954-1960
Istri : Aisah Martalogawa

Anak :
  1.     Isandra Matin ahmad
  2.     Isantia Dita Aslah
  3.     Isanilda Dea Latifah
Pekerjaan :
  •     Desainer tekstil di Balai Penelitian Tekstil Bandung, 1960-1964
  •     Kepala Biro Menteri Perindustrian dan Kerajinan, 1965-1967
  •     Kepala Dinas Pengembangan dan Latihan Direktorat Jenderal Urusan Pemuda dan
  •     Pramuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1967-1975
  •     Kepala Sub Direktorat Pembinaan dan Pelatihan, 1975-1977
  •     Pelaksana Harian Direktur Pembinaan Generasi Muda Direktorat Jenderal
Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga, 1977-1979
  •     Direktur Pembinaan Kesiswaan Ditjen Pebinaan Dasar dan Menengah, 1979-1983
  •     Dosen Fakultas Teknik Universitas Trisakti , 1985-2003
  •     Pembantu Rektor III Universitas Trisakti, 1989
Riwayat kepanduan :
  •     Pandu perintis di Pandu Rakyat tasikmalaya, 1946
  •     Pandu pawang di Purwakarta, 1950
  •     Pandu penuntun di Jakarta
  •     Andalan Nasional Pengurus Himpunan Pandu dan Pramuka Werda, 1998
Penghargaan :
  •     Wibawa Seroja Nusantara
  •     Bintang Jasa Pratama Karya Satya XXX


Sumber : Sumber :
http://sutarko.blogspot.com/2011/08/kak-idik-sulaeman-merindukan-roh-pandu.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Idik_Sulaeman
http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Siswa_Intra_Sekolah

5 Januari 2013

8 gedung pertama di Bandung

Mengawali tulisan pertama di tahun 2013 ini, penulis ingin bercerita tentang 8 gedung pertama di kota Bandung. Gedung yang dimaksud adalah bangunan yang berdinding batu (tembok), mungkin pada saat itu pengetahuan tentang kontruksi bangunan belum berkembang jadinya hanya beberapa saja yang telah ada.

Berdasarkan peta kota Bandung tahun 1825, Plan der Nagorij Bandong atau Rencana Tata Kota disebutkan delapan bangunan yang telah berdinding batu alias permanen (tembok) adalah :  

  1. Rumah Bupati Bandung. Rumah ini sekarang sudah tidak ada, berganti jadi rumah dinas walikota Bandung yang di kompleks Pendopo itu. Pendoponya sendiri adalah bale, bangunan bertiang tanpa dinding, yang didirikan oleh RAA Wiranatakusuma II. Letak kompleks ini persis di sisi sebelah selatan Alun-alun Bandung.
  2. Administratur Perkebunan Kopi di Bandung alias rumahnya Andries de Wilde. Lokasinya pada peta berseberangan dengan koffiepakhuis yang sekarang jadi Kantor Walikota, kepisah oleh Jl. Aceh. Andries de Wilde adalah tuan tanah pertama di daerah Priangan. Gedung kopi (sekarang Balaikota) atau Gedong Papak yang sekarang kita kenal sebagai kantor Pemerintah Kota Bandung (Balai Kota) adalah milik de Wilde. De Wilde adalah juga dokter pribadi dan pembantu utama Daendels, dia sempat ditempatkan sebagai Asisten Residen yang berkedudukan di Bandung. Pada masa Daendels ia sudah menjadi koffieopziener (pengawas penanaman kopi) dan memiliki tanah luas di sekitar Bogor-Sukabumi. Tanah ini lalu ditukarnya dengan satu kawasan luas di utara Bandung (dari Cimahi-Cibeusi, dan dari Tangkubanparahu-Grootepostweg) yang dipakainya untuk menanam kopi dan beternak sapi. De Wilde membangun rumah berseberangan dengan gudang kopi miliknya di sekitar Jl. Aceh sekarang. Ia juga kemudian menulis buku De Preanger Regentschappen op Java Gelegen, yang diterbitkan pada tahun 1830 serta menyusun Kamus Belanda-Melayu-Sunda. Perjalanan hidup de Wilde ternyata tidak mulus. Masa Gubernur Jenderal Van der Capellen kepemilikan tanahnya dibatalkan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam keadaan bangkrut ia pulang ke Negeri Belanda untuk mengadu kepada raja Willem.
  3. Tumenggung Bandung, Tumenggung itu adalah gelar kehormatan bagi bupati. Dahulu lokasi  rumahnya Tumenggung ini adalah yang sekarang jadi lokasi Gedung Keuangan di Jl. Asia Afrika.
  4. Rumah Patih. Rumah Patih ini sudah tidak ada. Lokasinya di Jl. Kepatihan sekarang, Patih juga adalah pembantu (asisten) bupati. Seorang patih biasanya masih berkerabat dengan bupati. Tugasnya membantu bupati sebagai koordinator para bawahan bupati yang berkedudukan di ibukota kabupaten. Tugas lainnya lebih bersifat pribadi, kira-kira seperti sekretaris pribadinya bupati.
  5. Tangsi Tentara, lokasinya di Jl. Cibadak tapi sayang tidak tahu persisnya dimana.
  6. Mesjid Agung Bandung. Lokasinya masih persis sama dengan lokasi masjid Raya Agung yang sekarang.
  7. "herberg" (penginapan). Herberg atau Pesanggrahan yang lokasinya kira-kira di belakang Hotel Preanger sekarang. Herberg ini biasanya menjadi tempat menginap para traveller yang melintasi Grootepostweg di Bandung. Di dekatnya juga terdapat istal kuda seperti yang terdapat di utara Alun-alun. Pada sisi selatan Herberg ini kemudian dibangun Toko Thiem di pertengahan abad ke 19 dan menjadi cikal-bakal berdirinya Hotel Preanger.
  8. Rumah Pelukis Belgia A.A.J. Payen di Tengah Kota Bandung. Rumah ini bergaya arsitektur Indische Empire Stijln dan ada di sebelah barat Viaduct Kebon Jukut. Sayangnya kita tidak bisa lagi melihat bangunan ini. Rumah pelukis ini dirobohkan pada tahun 1980-an karena terkena proyek pelebaran Jalan Suniaraja dan Stasiun Timur.


Sumber :
  • Buku Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe, Haryoto Kunto
  • Tulisan Ridwan Hutagalung dari komunitas Aleut!