20 Oktober 2014

Sejarah Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung

Pada 1921 enam biarawati yakni Suster Gaudentia Brand, Judith de Laat, Ludolpha de Groot, Ambrosine dan Liobaa menempuh perjalanan sejauh 12.000 km dari Belanda menuju Bandung. Mereka datang setelah misionaris Katolik di Jawa mengeluhkan minimnya fasilitas dan pelayanan kesehatan yang ada di tanah jajahan Belanda. Keenam biarawati yang tergabung dalam Suster-suster Cinta Kasih Santo Borromeus itu pun diutus kongregansinya untuk datang ke Hindia Belanda dengan membawa misi meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Bangunan lama R.S. Borromeus (Sumber : sepanjangjk.wordpress.com)
Dalam menjalankan tugasnya, keenam biarawati tersebut menempati sebuah bangunan bekas Poliklinik Insulinde di Dagoweg (Jl. Ir H Djuanda). Meskipun bekas poliklinik ketika pertama kali ditempati, bangunan milik dr Merz itu sudah kosong melompong, nyaris tidak ada peralatan medis dan perabot lainnya. Namun kondisi tersebut tak menggoyahkan semangat para biarawati untuk mengabdi di bidang kesehatan masyarakat. Kegiatan sosial yang mereka rintis akhirnya berhasil hingga menjadi salah satu rumah sakit terbesar di Bandung, Rumah Sakit Santo Borromeus.

Selang satu bulan setelah kedatangan enam biarawati, RS Borromeus mulai dibuka untuk umum pada 18 September 1921 dan tanggal tersebut kemudian dijadikan sebagai hari jadi RS Borromeus. Rumah sakit tersebut berada dibawah yayasan Santo Borromeus yang diketuai oleh dr De Groot. Selama empat tahun berjalan RS Borromeus hanya memiliki 17 tempat tidur pasien hingga akhirnya pada tahun 1925 pembangunan serta pengadaan sarana rumah sakit mulai dilakukan, diantaranya ruang jenazah, binatu, serta rontgen.

Sejak saat itu pembangunan terus berjalan. Pada tahun 1927, diresmikan gedung rawat inap Josef I, II, dan III. Sepuluh tahun kemudian ruang rawat inap kembali ditambah dan diberi nama Ruang Anna dan Maria sehingga kapasitas tepat tidur pasien meningkat menjadi 90. Selang satu tahun, didirikan biara dan asrama perawat pada tahun 1941, ruang rawat inap bagi anak-anak juga diresmikan. Ketika perang dunia kedua pecah, pembangunan RS Borromeus terhenti dan baru empat puluh tahun kemudian rumah sakit kembali diteruskan dengan perluasan dan peningkatan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan pasien.

Tidak diketahui secara pasti apakah keenam biarawati dari Belanda tersebut tetap di Bandung, atau lama mengabdi di RS Borromeus. Akan tetapi tiga biarawati yaitu Suster Gaudentia, Judith dan Ludolphamasih terlacak jejaknya. Mereka tercatat bertandang ke Yogyakarta pada Januari 1929, tetapi ketiganya tidak datang dari Bandung melainkan dari Belanda. Jadi kemungkinan para suster tersebut pulang daulu ke Belanda sebelum datang lagi ke Hindia, tepatnya di Yogyakarta. Kala itu, Yogyakarta sedang membangun rumah sakit dibawah yayasan Onder de Bogen. Pengurus Gereja Yogyakarta lalu meminta bantuan kepada kongres Suster Santo Borromeus yang berpusat di Maastricht, Belanda untuk mengelola rumah sakit yang kelak diberi nama RS Panti Rapih. Kemudian datanglah lima biarawati dan tiga diantaranya adalah perintis berdirinya RS Borromeus Bandung.

Saat ini Rumah Sakit Borromeus yang berada di Jalan Ir H. Djuanda no. 100 Bandung, telah berkembang pesat dengan kapasitas tampung hingga 400 pasien rawat inap dengan fasilitas peralatan medis yang modern. Walaupun demikian, bangunan lama tetap dipertahankan sebagai ikon dan ciri khas rumah sakit.


Sumber : Pikiran Rakyat
Foto : https://sepanjangjk.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar